Resolusi dari Waingapu
WAINGAPU | DETIKREPORTASE.COM – Gelombang aspirasi dari Pulau Sumba menggema. Dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Waingapu, 28 Agustus 2025, masyarakat adat, mahasiswa, akademisi, organisasi sipil, dan anggota DPRD Sumba Timur sepakat menyatakan satu sikap: UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 harus diubah total. Resolusi itu dituangkan dalam deklarasi bertajuk “Suara dari Pulau Sumba: Ubah Total UU Kehutanan dan Segera Sahkan UU Masyarakat Adat”, yang digagas oleh Aliansi Selamatkan Hutan Adat NTT bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT. Acara ini menjadi bagian dari pra-Perhelatan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) ke-XIV WALHI yang tahun ini digelar di Pulau Sumba.
“UU Kehutanan sudah terbukti gagal secara filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk menjawab kelestarian hutan dan pemenuhan hak masyarakat adat. NTT butuh undang-undang baru yang berpihak pada rakyat dan menjawab krisis iklim hari ini,” tegas Triawan Umbu Uli Mehakati dari Yayasan Koppesda, salah satu anggota WALHI NTT.
Hak Menguasai Negara Dikritik
Sorotan tajam datang dari akademisi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Umbu Pajaru Lombu. Ia menyebut konsep *Hak Menguasai Negara* dalam UU Kehutanan berwatak kolonial. “Negara merasa punya hak atas tanah termasuk kawasan hutan. Padahal, hak itu hanya sebatas mengatur dan mengurus, bukan memiliki. Tapi faktanya, pasal ini dijadikan tameng untuk memberi izin-izin skala besar, seperti rencana membuka 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi. Negara justru jadi pelaku utama pengerusakan hutan,” ujarnya lantang.
Menurut Umbu Pajaru, inilah alasan kenapa revisi parsial tidak cukup. Pengubahan menyeluruh diperlukan agar tafsir Hak Menguasai Negara tidak lagi menindas rakyat dan justru menjadi instrumen melindungi ekosistem.
DPRD Sumba Timur: Harus Kawal Bersama
Suara senada juga datang dari legislatif. Anggota DPRD Sumba Timur, Umbu Tamu Ridi Djawawara, menegaskan bahwa semangat DPR RI dalam merevisi UU Kehutanan harus dikawal ketat. “Kami mencurigai semangat revisi ini lebih banyak diarahkan untuk kepentingan pangan dan energi. Padahal rakyat menuntut perlindungan hutan, kepentingan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat adat. Kita harus kawal agar pengubahan total benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, bukan kepentingan pemodal,” katanya.
Umbu Tamu mengingatkan, hutan bukan sekadar sumber kayu atau lahan usaha. Ia adalah penyangga kehidupan. Karena itu, menurutnya, revisi menyeluruh harus mampu melawan dominasi kapital yang selama ini menguasai hutan-hutan di NTT.
WALHI Nasional: UU Kehutanan Gagal Total
Dari tingkat nasional, suara keras datang dari Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI. Ia menyebut UU Kehutanan selama dua dekade terakhir terbukti gagal di semua aspek: filosofis, sosiologis, dan yuridis. “Undang-undang ini gagal mengakui pemaknaan masyarakat adat dan komunitas lokal. Bagi mereka, hutan adalah ruang hidup, identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan. Tapi negara mendefinisikan hutan hanya dengan kacamata teknokratis,” kata Uli.
Ia menambahkan, penetapan kawasan hutan yang sering menimbulkan konflik tenurial adalah bukti ketidakadilan struktural. Banyak kawasan hutan ditetapkan tanpa survei etnografi, tanpa pemetaan partisipatif, tanpa dialog dengan masyarakat adat. “Secara legal boleh sah, tapi secara legitimasi sosial jelas ditolak,” tegasnya.
Dari sisi hukum, Uli menyebut UU Kehutanan tidak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya soal definisi hutan dan hak masyarakat, yang berkali-kali dikuatkan MK, namun tetap diabaikan. “Karena itu, revisi parsial tidak ada gunanya. Kita butuh UU Kehutanan baru,” ujarnya.
Jalan Panjang Perjuangan
Diskusi publik di Waingapu itu menjadi cermin kegelisahan masyarakat NTT. Mereka melihat hutan sebagai benteng terakhir kehidupan, tetapi juga sebagai sumber konflik karena regulasi yang tidak berpihak. Bagi WALHI dan aliansinya, perjuangan ini bukan sekadar soal undang-undang, tetapi soal keberlanjutan hidup generasi mendatang. “Masyarakat adat sudah membuktikan pengetahuan lokalnya mampu menjaga hutan berabad-abad. Itu harus diakui dalam hukum negara,” tegas Triawan Umbu Uli Mehakati.
Kini, bola ada di tangan DPR RI. Apakah revisi UU Kehutanan akan menjawab tuntutan rakyat atau sekadar melayani kepentingan modal, waktu yang akan membuktikan.
✍️ Yuven Fernandez | detikreportase.com | Waingapu – NTT
DETIKREPORTASE.COM : Suara Rakyat Adat, Hutan Lestari, Bangsa Berdaulat


