Refleksi dan InspirasiSulawesi Selatan

Sejarah Jeneponto: Dari Jejak Kolonial Belanda (Butta Turatea) ke Lintasan Era Digital (1909–2025)

609
×

Sejarah Jeneponto: Dari Jejak Kolonial Belanda (Butta Turatea) ke Lintasan Era Digital (1909–2025)

Sebarkan artikel ini

Jeneponto, Detikreportase.com –

Berjalan menelusuri lorong waktu Jeneponto, kita bukan hanya menyelami sejarah sebuah daerah, tapi juga merefleksikan perjalanan bangsa. Inilah kisah bagaimana sebuah wilayah kecil di selatan Sulawesi memainkan peran dalam panggung besar sejarah Indonesia.

Kerajaan Turatea: Akar Sejarah dan Identitas Lokal

Sebelum penjajahan menyentuh wilayah Sulawesi Selatan, Jeneponto telah berdiri sebagai bagian dari Kerajaan Turatea—kerajaan adat yang memiliki sistem pemerintahan, hukum, dan struktur sosial yang kokoh. Dalam struktur ini dikenal jabatan seperti karaeng dan gallarrang, mencerminkan hierarki dan kehormatan adat yang dijaga ketat.

Kerajaan ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga benteng budaya dan nilai. Hingga hari ini, warisan Turatea masih hidup dalam tradisi masyarakat Jeneponto, baik dalam dialek bahasa Makassar lokal, upacara adat, hingga struktur sosial informal yang masih menghormati silsilah bangsawan dan pemuka adat.

Onderafdeeling Jeneponto dan Kolonialisme yang Menyusup (1909)

Tahun 1909 menjadi titik balik ketika pemerintahan kolonial Belanda menetapkan Jeneponto sebagai Onderafdeeling, bagian dari Afdeeling Makassar en Ommenlanden. Ini bukan sekadar pembagian wilayah administratif, tetapi upaya Belanda untuk mengendalikan wilayah-wilayah dengan pendekatan yang terlihat “lokal”, namun sejatinya tetap berpusat pada kekuasaan kolonial.

Para elite lokal tidak dihapus, melainkan diserap ke dalam struktur kolonial. Mereka diberi jabatan, namun wewenangnya telah bergeser. Bangsawan Turatea berubah menjadi alat birokrasi kolonial. Pengaruh ini menciptakan dualisme identitas: antara adat yang dijunjung dan sistem asing yang dijalani.

Pendudukan Jepang dan Babak Singkat yang Mengguncang (1942-1945)

Masuknya Jepang ke Indonesia mengubah seluruh wajah pemerintahan kolonial. Di Jeneponto, struktur lama yang dibangun Belanda dirombak menjadi sistem militeristik yang otoriter dan terpusat. Meski hanya berlangsung tiga tahun, masa ini menciptakan ketakutan sekaligus semangat perlawanan.

Jepang membawa propaganda Asia Timur Raya, namun juga penindasan dan kerja paksa. Di balik penderitaan, rakyat mulai menguatkan mimpi akan kemerdekaan—termasuk di tanah Turatea yang mulai mengalirkan semangat nasionalisme.

Revolusi, DI/TII, dan Perjuangan Menegakkan Republik (1945 – 1959 ) 

Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan akhir, melainkan awal perjuangan baru. Di Sulawesi Selatan, termasuk Jeneponto, pemerintahan Republik Indonesia menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah gerakan DI/TII yang menolak Republik dan berupaya membentuk negara sendiri berbasis syariat Islam.

Masyarakat terpecah, aparat kewalahan, dan kehidupan sosial terguncang. Namun pada akhirnya, semangat republik menang. Masyarakat Jeneponto berangsur-angsur menerima pemerintahan baru yang menjanjikan kemerdekaan sejati, bukan ilusi kekuasaan kolonial ataupun otoritarianisme berbasis agama sempit.

Lahirnya Kabupaten Jeneponto dan Otonomi Daerah (1959)

Melalui UU No. 29 Tahun 1959, pemerintah pusat menetapkan pembentukan Kabupaten Jeneponto. Ini adalah tonggak penting: daerah ini tak lagi sekadar wilayah administratif kolonial, melainkan satu entitas otonom dalam struktur negara Republik Indonesia.

Bontosunggu ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten. Struktur pemerintahan baru dibentuk, dengan camat dan bupati sebagai pengganti karaeng dan gallarrang. Bangsawan berubah menjadi pejabat sipil. Adat tetap dihormati, namun dibingkai dalam semangat konstitusional dan nasionalisme.

Orde Baru hingga Reformasi: Pembangunan dan Tantangan

Di bawah Orde Baru, Jeneponto masuk dalam arus pembangunan nasional. Jalan-jalan dibangun, kantor pemerintahan berdiri, namun tak semua wilayah merasakan manfaatnya secara merata. Sentralisasi kekuasaan membuat banyak daerah merasa termarginalkan, termasuk beberapa pelosok Jeneponto.

Namun rakyat tetap bertahan. Budaya gotong royong, pasar tradisional, dan semangat persaudaraan lokal menjadi fondasi utama.

Reformasi 1998 membuka babak baru. Keterbukaan, demokrasi, dan desentralisasi memberi ruang baru bagi Jeneponto untuk menentukan arah pembangunannya sendiri.

Jejak Sejarah di Era Digital (2025)

Kini, Jeneponto berdiri sebagai kabupaten yang mulai menapaki era digital. Layanan publik berbasis daring mulai diperkenalkan, media lokal tumbuh, termasuk Detikreportase.com yang ikut mengawal aspirasi rakyat di tengah tantangan zaman.

Anak-anak muda Jeneponto kini tak hanya mewarisi adat, tapi juga melek teknologi. Mereka menjadi jembatan antara warisan Turatea dan era digitalisasi nasional.

Tradisi seperti Passappi turatea dan Maudu Lompoa kini bisa diakses lewat video, disiarkan di media sosial, dan menjadi kebanggaan diaspora Jeneponto di seluruh Indonesia dan luar negeri.

Refleksi dan Inspirasi: Membangun dari Akar Sejarah

Kisah Jeneponto bukan hanya catatan sejarah daerah. Ia adalah refleksi tentang bagaimana masyarakat lokal menavigasi kolonialisme, perang, reformasi, dan modernisasi. Ia adalah cermin kecil dari wajah Indonesia: penuh tantangan, namun tak pernah menyerah.

Kini, tugas generasi muda adalah merawat warisan itu—menggabungkan semangat Turatea dengan semangat digital. Membangun bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga membangun jati diri, karakter, dan kesadaran sejarah.

Jika sejarah adalah jendela masa depan, maka Jeneponto telah membuka jendelanya lebar-lebar. Kini saatnya kita melangkah, dengan bekal sejarah yang kuat, menuju masa depan yang lebih cerah dan bermartabat.

Penulis: Rusli |

Detikreportase Sulawesi Selatan

Editor/Penyunting: Diky Hr |

Pimpinan Redaksi Detikreportase.com

Tim Liputan Refleksi dan Inspirasi Detikreportase.Com | Sulawesi Selatan dan Nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250Example 728x250