Wacana Lama, Gejolak Baru
JENEPONTO | DETIKREPORTASE.COM – Rencana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD kembali mencuat ke permukaan. Wacana ini pertama kali disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar dan mendapat dukungan dari Presiden RI, Prabowo Subianto. Alasan yang disampaikan mencakup efisiensi anggaran, menghindari konflik horizontal, serta memperkuat stabilitas pemerintahan.
Namun, berbagai kalangan menilai bahwa usulan ini justru menjadi kemunduran serius bagi demokrasi yang telah dibangun pasca-reformasi. Salah satu suara paling kritis datang dari Rahmat, Koordinator Kabupaten Lembaga Studi Visioner Nusantara (Ls Vinus) Jeneponto, yang menyebut bahwa wacana ini bukan hanya regresif, tapi juga merusak esensi partisipasi rakyat dalam proses demokrasi.
> “Jika sistem ini diubah, maka hilang sudah suara rakyat. Ini tak ubahnya taktik awal untuk membunuh lembaga demokrasi yang telah tumbuh dengan susah payah,” tegas Rahmat yang juga Magister Sosiologi dari Universitas Hasanuddin.
Kepala Daerah Bukan Lagi Milik Rakyat
Rahmat menjelaskan, selama dua dekade terakhir, pemilihan langsung telah melahirkan banyak kepala daerah yang berkualitas karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Jika kembali ke DPRD, maka pemimpin yang muncul akan lebih merupakan hasil kompromi elite politik daripada representasi kehendak masyarakat.
> “Kita akan menyaksikan kembali politik sentralistik. Partai politik kita sangat tergantung pada keputusan DPP. Maka, kepala daerah tidak lagi lahir dari aspirasi lokal, melainkan dari kesepakatan elit di pusat,” tegasnya.
Selain itu, ia menilai bahwa sistem pemilihan oleh DPRD justru akan memperbesar peluang terjadinya politik transaksional di level elite, memperkecil ruang pengawasan publik, dan mengaburkan akuntabilitas pemimpin daerah.
Isu Efisiensi Dinilai Mengada-ada
Salah satu alasan utama yang digunakan untuk mendukung wacana ini adalah soal penghematan biaya pilkada. Namun menurut Rahmat, persoalan anggaran tidak relevan jika yang dipertaruhkan adalah hak politik rakyat.
> “Kalau bicara efisiensi, perbaiki saja pengelolaan anggarannya. Kurangi pemborosan seperti perjalanan dinas, rapat yang tak efektif. Bukan dengan mengorbankan demokrasi,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa upaya menekan praktik politik uang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengubah sistem, tetapi harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas serta pengawasan dari lembaga penyelenggara dan masyarakat sipil.
Waspadai Sentralisasi dan Aparat Tak Netral
Rahmat menyoroti bahwa saat ini saja netralitas aparatur negara sudah menjadi persoalan serius. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka kemungkinan intervensi pusat akan jauh lebih besar, bahkan sejak proses penjaringan calon.
> “Sudah ada kecenderungan aparat berpihak pada calon tertentu. Kalau sistem ini dipaksakan, maka ruang intervensi akan makin besar dan rakyat makin tak punya suara,” kata Rahmat.
Ia menambahkan bahwa masyarakat harus menyuarakan penolakan secara masif, karena ini bukan semata soal sistem, tetapi soal siapa yang berkuasa dan siapa yang memilih.
> “Kita harus tegas: perubahan ini hanyalah akal-akalan untuk memotong suara rakyat dan mengembalikan kekuasaan ke tangan segelintir elite. Jangan sampai demokrasi hanya jadi jargon tanpa isi,” pungkasnya.
✍️ Tim | detikreportase.com | Jeneponto – Sulawesi Selatan
DETIKREPORTASE.COM : Demokrasi Dijaga, Rakyat Bicara, Bangsa Berdaulat


