✍️ Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH |
Di tengah gelapnya lorong-lorong kekuasaan, masih ada cahaya yang menyinari: INSAN PERS. Seperti matahari pagi yang tak gentar menembus kabut, insan pers hadir dengan satu misi: meneliti, mengawasi, dan membongkar praktek kotor yang menggerogoti negeri ini.
Pekerjaan wartawan bukan sekadar menulis berita. Ia adalah tugas peradaban. Ia bukan penggembira dalam demokrasi, melainkan garda depan dalam menjaga marwah keadilan sosial. Dan ironisnya, justru mereka yang paling keras bersuara untuk rakyat—kini justru paling sering dicibir, bahkan dikriminalisasi.
Tak jarang para jurnalis idealis dicap “Wartawan Bodrek” hanya karena berani menyuarakan kebenaran yang menyakitkan. Padahal mereka itulah yang mengangkat suara rakyat kecil yang sering kali ditindas oleh sistem yang penuh kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Membongkar sarang tikus di bawah jas elit
Korupsi bukan lagi penyakit, tapi sudah menjadi industri gelap yang dijaga oleh oknum-oknum berseragam dan berdasi. Dari kantor desa hingga gedung-gedung bertingkat pusat kekuasaan, “tikus-tikus berdasi” merajalela menggerogoti anggaran yang sejatinya milik rakyat.
Sialnya, ketika wartawan mencoba membongkar, mereka malah diteror, dilabeli miring, bahkan dibungkam. Ada yang diculik, dibakar bersama keluarganya, ada pula yang lenyap dan jasadnya tak pernah ditemukan. Di mana suara lembaga negara ketika insan pers dibungkam dengan cara-cara keji seperti itu?
Kenapa takut diberitakan jika tak bersalah?
Ini pertanyaan mendasar dan tajam. Jika seseorang benar, kenapa takut diberitakan? Jika transparan, mengapa gusar ketika disorot?
Sayangnya, justru banyak oknum pejabat yang ketakutan ketika kejahatannya mulai diendus. Mereka mencari tameng hukum, menekan media, dan membungkam kritik dengan dalih pencemaran nama baik. Ini bukan negara demokrasi yang sehat, ini cermin kemunduran peradaban.
Insan pers tidak mengada-ada. Mereka menulis berdasarkan data dan fakta. Lalu kenapa dibalas dengan ancaman, kriminalisasi, dan labelisasi?
Dewan Pers: jangan jadi lembaga tuli dan bisu
Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi rumah besar bagi seluruh insan pers, Dewan Pers justru makin hari makin kehilangan kepekaan. Banyak rekan wartawan yang dizalimi, tapi tidak satu pun langkah nyata yang dilakukan untuk membela.
Tidak ada ruang dialog terbuka, tidak ada keberpihakan terhadap organisasi pers nasional yang independen. Sertifikasi UKW dijadikan alat legitimasi tunggal, padahal ia tidak otomatis menjamin profesionalisme maupun kesejahteraan.
Lebih parahnya lagi, Dewan Pers seolah enggan terbuka soal anggaran ratusan miliar yang diterimanya. Untuk siapa anggaran itu? Seberapa besar dampaknya bagi ribuan wartawan akar rumput di daerah-daerah? Mengapa tidak ada transparansi?
Bukankah mereka juga tahu: kalau tidak bersalah, kenapa takut diberitakan?
Negara harus hadir, bukan membungkam
Pers tidak butuh dilindungi oleh janji manis. Mereka butuh sistem hukum yang berpihak kepada keadilan. Mereka butuh negara yang benar-benar hadir—bukan malah tunduk pada tekanan elit dan mafia anggaran.
Berapa banyak kasus penyelewengan dana desa, dana bansos, dan proyek infrastruktur yang diendus oleh wartawan, tapi justru dibungkam karena menyentuh “orang besar”? Sementara aparat hukum pura-pura buta, seolah tidak melihat laporan investigasi yang sudah terang benderang?
Jangan warisi demokrasi dengan ketakutan
Jika wartawan harus takut menulis kebenaran, maka demokrasi telah kehilangan nadinya. Jika media dikekang dengan aturan karet dan stigma, maka negeri ini sedang menuju otoritarianisme terselubung.
Kita butuh pembela kebenaran. Kita butuh insan pers yang tidak takut mati demi menyuarakan nurani rakyat. Tapi untuk itu, mereka perlu dilindungi, bukan ditindas. Dihargai, bukan dimarjinalkan.
Penutup: wartawan adalah penjaga akar negeri
Saya, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH, menyerukan kepada seluruh aparat, pejabat, dan Dewan Pers: jangan takut pada insan pers yang bersuara. Tak ada yang perlu ditakutkan jika memang tak bersalah.
Dan kepada insan pers di seluruh Indonesia, tetaplah berdiri tegak. Suaramu adalah pelita di tengah gelap. Pena kalian lebih tajam dari peluru, lebih bermakna dari pidato-pidato elite yang penuh basa-basi.
🟨 Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH
Pakar Ilmu Hukum Internasional dan Pembina Insan Pers Nasional
DETI KREPORTASE.COM : Suara Wartawan Merobek Tirai Kebohongan, Bukan untuk Dibelenggu.


