PAPUA |DETIKREPORTASE.COM
– Di tengah belantara Papua, sebuah kisah menyala pelan namun pasti. Adalah Godi Usnaat, pria lajang asal Timor yang menapaki jalan panjang penuh semak dan sungai demi satu hal: membagikan cahaya lewat pendidikan. Sejak 2014, alumnus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero ini menetap di Paroki Ubrub, Keuskupan Jayapura, menjadi guru agama Katolik.
Pada suatu hari di April 2025, di Kampung Jember – distrik Towe, Kabupaten Keerom – Godi dihampiri seorang bapak yang berkata lirih, “Pak guru, ajar saya baca e.” Bagi Godi, itu bukan sekadar permintaan, melainkan bara kecil harapan. “Mata bapak itu seperti matahari pagi,” katanya. Lain hari, sang bapak kembali – kali ini menggendong anaknya. “Pak guru, sa anak besar, ajar dia ABC e.” Itulah pendidikan dalam bentuk paling murni: kehausan untuk belajar meski tanpa fasilitas.
Ketika Sekolah Tak Lebih dari Nama, dan Guru Sekadar Bayangan
Meski telah dimekarkan sejak 10 tahun lalu, Kampung Jember belum memiliki gedung sekolah. Jember terlalu terpencil – sepuluh jam berjalan kaki. Beberapa anak bahkan menyeberang ke Papua Nugini demi belajar. Seorang guru dari PNG sempat hadir, namun kembali karena negaranya juga memerlukan dirinya.
“Anak-anak kasasar,” ujar Bapa Frans Watae, rekan seperjuangan Godi. Ya, di pedalaman Papua, anak-anak tersesat bukan karena kemauan mereka, melainkan sistem yang membiarkan mereka sendirian: gedung ada, guru tak datang, buku kosong, dan harapan menipis. Pendidikan dasar di sana bergantung pada para relawan – yang tak selalu berasal dari latar belakang pendidikan guru.
Godi menyentil masalah lebih dalam: sistem rekrutmen guru. Menurutnya, jika seleksi masuk LPTK tidak dibenahi, maka guru-guru yang hadir bukan hanya tidak cakap, tetapi juga gagal menjelaskan hal sederhana seperti “mengapa 2+2 dan 2×2 hasilnya sama, tapi logikanya berbeda.”
Harapan baru mulai menyala. Pada 15 April 2025, masyarakat bersama Bapa Kampung Elias Tuu Abrai dan Pastor Hary OSA sepakat membangun SD pertama di Jember. Sejak 16 April, Godi dan Bapa Frans membuka kelas darurat. Mereka mengajarkan baca-tulis-hitung, bernyanyi, dan menghidupkan semangat belajar bagi anak-anak yang selama ini dibiarkan dalam gelap.
“Ini baru korek api, belum api tungku,” kata Pastor Hary. Namun, bagi anak-anak Jember, itu sudah lebih dari cukup. Api kecil itu – bila dijaga – bisa menjadi nyala yang membakar ketidakpedulian.
Senin, 21 April 2025, Godi dan Frans keluar dari Jember. Mereka berjanji kembali. Bukan hanya untuk mengajar, tetapi membangun sistem, dialog, dan komitmen bersama masyarakat. Pendidikan di Jember belum usai – dan mereka tak ingin menyerah.
✍️ Yuven Fernandez | Detikreportase.com


