Nusa Tenggara TimurRefleksi dan Inspirasi

Hidup di Antara Rongsokan: Janda Maria Modesta Bertahan dengan Bubur dan Botol Bekas

422
×

Hidup di Antara Rongsokan: Janda Maria Modesta Bertahan dengan Bubur dan Botol Bekas

Sebarkan artikel ini
Suasana kediaman janda Maria Modesta yang Bertahan hidup dari bubur dan botol bekas

SIKKA |DETIKREPORTASE.COM–

Di sudut lengang belakang kantor Disperindag Sikka, berdiri sebuah gubuk reot beratap seng karat yang nyaris roboh. Di sanalah Maria Modesta, seorang janda 57 tahun, hidup bersama tumpukan sampah yang jadi sumber harapannya. Ia bukan sekadar pemulung, tapi simbol keteguhan di tengah kerasnya hidup kota Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Hari-hari Maria dimulai sebelum fajar. Pukul 5 pagi, saat kebanyakan warga masih terlelap, ia telah menenteng karung dan berjalan kaki menyusuri lorong-lorong kota demi mencari botol plastik, kardus bekas, dan sisa-sisa layak jual dari tempat pembuangan sampah.

Hidup dari Bubur, Berteduh di Rumah Reyot

Rumah Maria hanya berukuran 2×2 meter, berdinding potongan bambu dan berlantaikan tanah. Atapnya dari seng bekas yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Di dalamnya hanya ada satu ranjang kecil dan tak ada perabot layak pakai. Tiupan angin malam dan bocoran air hujan adalah hal yang biasa ia hadapi.

“Ya beginilah hidup saya. Sudah tidak punya siapa-siapa, hanya hidup dari tumpukan sampah. Kadang cuma makan bubur biar beras hemat. Kalau mau beli sayur atau ikan, uangnya dari mana?” ujar Maria dengan suara lirih saat ditemui DetikReportase.com, Jumat (13/6/2025).

Ditinggal dua suami karena kematian dan kini membesarkan enam anak yang sebagian telah hidup mandiri, Maria memilih tetap bertahan dengan pekerjaannya sebagai pemulung—meski harus berpacu dengan pemulung lain dan truk sampah setiap pagi.

Rp 30 Ribu Sehari: Hidup dari Kesyukuran

Dalam sehari, dari hasil memilah-milah botol bekas dan kardus, Maria bisa mengumpulkan uang antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Itu pun jika beruntung.

“Kalau rejeki hari itu ada, bisa dapat tiga kilo beras. Tapi ya sudah, saya tetap syukuri. Yang penting bisa makan, bisa hidup,” tuturnya.

Ia juga mengakui bahwa dirinya pernah menerima bantuan BLT dari pemerintah beberapa tahun lalu, namun hingga kini belum ada bantuan lagi yang datang. Meski begitu, ia tak menyalahkan siapa-siapa.

Diabaikan Sistem, Tapi Tetap Berkontribusi

Urbanus Londa, tokoh muda Maumere, menyebut Maria dan para pemulung lainnya justru telah berperan besar menjaga kebersihan kota.

“Pemulung seperti Ibu Maria ini bagian dari sistem kebersihan kota. Mereka mengambil sampah-sampah di sudut yang tidak dijangkau petugas. Harusnya pemerintah menginventarisir dan memberi insentif, minimal dalam bentuk pendampingan dan perlindungan kesehatan,” tegas Urbanus.

Menurutnya, pekerjaan memulung sangat rentan terhadap paparan penyakit karena bersentuhan langsung dengan sampah. “Kalau Kota Maumere ingin bersih, jangan lupa jasa mereka yang setiap hari mengangkat sisa kita,” tambahnya.

Di Ujung Senja, Doa Jadi Harapan

Di usia senjanya, Maria tak berharap banyak. Ia hanya ingin diberi kesehatan agar tetap bisa bertahan hidup.

“Saya selalu berdoa. Semoga Tuhan kasih saya umur dan badan kuat, supaya bisa isi hari-hari ini dengan baik, cari rezeki buat makan,” katanya pelan.

Kisah Maria bukan satu-satunya di kota ini. Namun, ia adalah satu dari sedikit yang berani terus berdiri—meski hanya berpegangan pada karung dan keyakinan.

✍️ Yuven Fernandez | DetikReportase.com | Sikka – NTT

DETIKREPORTASE.COM – Suara Mereka yang Kerap Terlupakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250Example 728x250