Jeneponto, Detikreportase.com
– Di sudut terpencil Desa Batujala, kaki Gunung Bulusuka, Kabupaten Jeneponto, berdiri sebuah gubuk reyot yang nyaris roboh. Dindingnya dari anyaman bambu yang telah lapuk, beratapkan seng berkarat yang bocor di sana-sini. Jika hujan turun, air menggenang di dalam rumahnya. Dalam kondisi ini, Kakek Capa dan Nenek Memang bertahan, menjalani hari-hari mereka tanpa kepastian di usia senja.
Saat awak media berkunjung ke rumahnya, pasangan lansia berusia sekitar 70 tahun ini menceritakan kisah hidup mereka dengan suara lirih, sesekali diselingi isak tangis.
“Kadang kalau hujan deras, air masuk ke rumah. Tidak ada tempat mengungsi, nak. Kalau malam, dingin sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya tempat kami berteduh,” ujar Nenek Memang, suaranya bergetar.
Merindukan Anak-Anak yang Tak Kunjung Pulang
Di hadapan para awak media, Nenek Memang tak kuasa menahan tangis saat ditanya tentang anak-anaknya. Mereka memiliki tujuh anak, tetapi semuanya merantau dan sudah lama tidak pulang.
“Kami hanya bisa berdoa semoga mereka baik-baik saja di sana. Kadang kalau rindu, saya menangis sendiri di sudut rumah,” ujarnya sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya yang mulai keriput.
Meski merindukan anak-anaknya, ia tidak ingin membebani mereka. “Mungkin mereka juga sedang berjuang untuk hidup mereka sendiri,” katanya, mencoba tersenyum di balik kesedihan yang mendalam.
Bertahan dengan Bantuan yang Tak Selalu Cukup
Di usia senja, seharusnya mereka menikmati masa tua dengan tenang. Namun, kenyataan berkata lain. Mereka hidup tanpa penghasilan tetap, bergantung pada bantuan sosial yang sering kali tak cukup untuk bertahan sebulan penuh.
“Kalau bantuan cair, kami bisa makan. Tapi kalau sudah habis? Ya, kami menunggu belas kasihan orang-orang baik,” ujar Kakek Capa kepada awak media di rumahnya.
Mereka hanya mengandalkan bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Jika ada orang baik yang datang memberi makanan atau sedikit uang, mereka bisa membeli ikan untuk lauk. Jika tidak, mereka hanya makan seadanya.
“Kami tidak meminta banyak, nak. Hanya ingin bisa hidup dengan layak di sisa umur kami,” kata Nenek Memang, sambil menggenggam tangan salah satu wartawan yang menemuinya, seakan memohon pertolongan yang selama ini tak kunjung datang.
Di Mana Kepedulian?
Kisah Kakek Capa dan Nenek Memang adalah cerminan ketimpangan yang masih nyata di negeri ini. Di satu sisi, rakyat kecil seperti mereka harus berjuang hanya untuk bisa makan sehari-hari. Di sisi lain, ada mereka yang menikmati kemewahan dengan mudahnya.
Di saat pasangan lansia ini tidur beralaskan tikar usang, ada yang menghamburkan uang untuk pesta mewah. Di saat mereka harus menunggu bantuan sosial yang sering kali tak cukup, ada yang menikmati hasil korupsi tanpa rasa bersalah.
Negeri ini sesungguhnya memiliki cukup sumber daya untuk memastikan setiap warganya hidup layak di hari tua. Namun, ke mana perhatian itu? Ke mana anggaran yang seharusnya bisa membantu mereka?
Ini bukan sekadar soal belas kasihan, ini tentang hak untuk hidup dengan layak. Kakek Capa dan Nenek Memang tidak meminta banyak—hanya sebuah jaminan agar mereka bisa menghabiskan sisa usia dengan tenang, tanpa harus terus-menerus bergantung pada belas kasihan orang lain.
Pemerintah, komunitas sosial, dan para dermawan perlu turun tangan. Mereka tidak butuh janji-janji manis, mereka butuh tindakan nyata.
Jika Anda ingin membantu, silakan hubungi mereka, aparat desa setempat atau komunitas sosial terdekat. Satu kepedulian kecil bisa menjadi harapan besar bagi mereka. (Rusli-Redaksi/Detikreportase.com)


