DETİKREPORTASE.COM, SIKKA
Siang itu, langit Kota Maumere tampak mendung. Jurnalis Detikreportase.com menyusuri kompleks pertokoan untuk mengumpulkan berita tentang persoalan sampah di kota. Namun, di tengah riuh rendah kendaraan dan kesibukan warga, perhatian tertuju pada sosok lelaki tua yang duduk di emperan Toko Lion, Jalan Raja Centis. Dikelilingi para ibu-ibu, tangannya telaten menata lembaran kain bermotif tenun ikat Sikka.
Dialah Martinus Tani (74), lelaki asal Kecamatan Tanawawo, Kabupaten Sikka, yang telah 45 tahun bertahan hidup dengan berjualan lembaran motif tenun ikat. Dengan tenaga yang semakin berkurang dimakan usia, Martinus tetap berjuang agar dapurnya terus mengepul dan anak-anaknya tetap bisa melanjutkan hidup.
Awal Perjalanan: Berjalan Kaki Demi Bertahan Hidup
Martinus mengisahkan, sejak tahun 1979, ia sudah berjualan lembaran motif tenun di berbagai pasar tradisional di Maumere. Awalnya, ia bekerja sebagai buruh proyek, namun ketika tidak ada pekerjaan, ia mengandalkan penjualan motif tenun untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Ia mengandalkan kedua kakinya untuk menempuh perjalanan jauh dari satu pasar ke pasar lain, Pasar Nita dan Pasar Geliting, mengikuti jadwal pasar mingguan.
“Saya tidak punya kendaraan, jadi sejak dulu saya berjalan kaki ke pasar-pasar untuk menjual motif tenun. Walaupun hasilnya tidak seberapa, saya tidak pernah putus asa. Yang penting, ada rezeki untuk makan hari itu,” kata Martinus, mengenang perjalanannya selama puluhan tahun.
Saat muda, ia bisa menjajakan dagangannya dengan lebih leluasa, tetapi kini, tubuh renta membatasi geraknya. Martinus tidak lagi sanggup berjalan jauh seperti dulu. Ia lebih sering berjualan di emperan pertokoan Maumere, menunggu pelanggan yang datang menghampiri.
Meski usianya sudah senja, semangatnya tak pernah padam. Martinus tetap menjual lembaran motif tenun ikat dengan harapan bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bertahan dengan Jualan Lembaran Motif Tenun
Bagi Martinus, bisnis kecil ini tetap menjanjikan karena banyak ibu-ibu di Kabupaten Sikka masih menenun untuk menopang ekonomi keluarga. Lembaran motif tenun yang ia jual menjadi inspirasi bagi para penenun dalam menciptakan kain berkualitas tinggi yang diminati pembeli.
“Sarung tenun ikat harganya bisa mahal, tergantung motifnya. Penenun selalu mencari motif yang unik dan punya nilai jual tinggi. Saya menjual contoh motif agar mereka bisa meniru dan menghasilkan sarung dengan kualitas bagus,” jelasnya.
Martinus menjual setiap lembar motif dengan harga Rp 5 ribu per lembar. Jika beruntung, ia bisa mendapatkan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu dalam sehari, tetapi saat sepi, hanya Rp 20 ribu yang bisa ia bawa pulang.
“Yang penting saya bisa beli beras dan sayur untuk hari itu. Kadang untungnya sedikit, tapi saya selalu bersyukur karena masih bisa berjualan,” ujarnya.
Martinus mengaku bahwa sejak istrinya meninggal 10 tahun lalu, ia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup dengan kesulitan masing-masing, sehingga ia tidak ingin menjadi beban bagi mereka.
“Saya hidup sendiri sekarang. Anak-anak punya keluarga sendiri, jadi saya harus cari makan sendiri juga. Kalau hanya diam di rumah, siapa yang mau kasih makan?” katanya dengan senyum pasrah.
Burung Merak, Motif Primadona Penenun Sikka
Di antara berbagai motif tenun ikat Sikka, motif Burung Merak menjadi yang paling dicari. Menurut Mama Nona, seorang penenun asal Nelle Urung, Kecamatan Nelle, motif ini sangat digemari oleh pegawai kantoran yang ingin membuat seragam.
“Sarung tenun dengan motif Burung Merak dan bunga besar biasanya dijual dengan harga Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta. Karena itu, banyak penenun yang mencari motif ini untuk dijadikan inspirasi,” jelasnya.
Motif Burung Merak dianggap melambangkan keagungan dan kecantikan, sehingga banyak wanita yang menginginkannya sebagai busana adat atau seragam kerja.
Sementara itu, Mama Gabriela dari Desa Watugong, Kecamatan Alok Timur, lebih menyukai motif Burung Tekukur dan Malaikat Menunggang Kuda, yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
“Sarung motif Malaikat Menunggang Kuda bisa dijual hingga Rp 2,5 juta. Ini motif langka dan memiliki makna spiritual yang kuat,” ungkapnya.
Menghabiskan Usia Senja dengan Lembaran Motif dan Lembaran Rupiah
Di usianya yang senja, Martinus tetap berkeliling menjual lembaran motif tenun dengan tenaga yang semakin berkurang. Baginya, ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan cara bertahan hidup dan membantu anak-anaknya.
Ia sadar bahwa suatu hari nanti, tubuhnya tak lagi kuat untuk berjualan. Namun, selama masih ada tenaga, ia akan terus menjajakan lembaran motif dengan harapan bisa mendapatkan lembaran rupiah untuk mengisi perutnya.
“Saya tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara saya bisa tetap hidup. Saya hanya berharap selalu diberi kesehatan agar bisa terus berjualan,” katanya.
Di emperan toko yang menjadi saksi bisu perjuangannya, Martinus tetap tersenyum, meski hidup tak selalu mudah. Baginya, setiap lembar motif yang terjual adalah berkah, sekecil apa pun itu.
Ia berharap, suatu hari nanti, ada lebih banyak orang yang peduli pada kehidupan para pedagang kecil seperti dirinya—mereka yang tetap berjuang dalam keterbatasan, demi dapur yang terus mengepul dan hidup yang terus berjalan. (Fernando, Red.)


