BeritaJakarta

Situs Bhinneka News Diretas: Ancaman Nyata Kebebasan Pers di Indonesia

348
×

Situs Bhinneka News Diretas: Ancaman Nyata Kebebasan Pers di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Peretasan Situs Media Sebagai Bentuk Pembungkaman

JAKARTA | DETIKREPORTASE.COM – Kebebasan pers kembali berada dalam ujian berat. Kali ini, salah satu media online nasional, **Bhinneka News**, menjadi korban peretasan yang diduga dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Peristiwa itu terjadi setelah media tersebut memuat artikel opini kritis berjudul *Indikasi Sabotase Rezim Pemerintahan RI Yang Mengarah Pada Keberlanjutan, Pemakzulan Atau Kekosongan Kekuasaan “Vacum of Power”*. Situs resmi Bhinneka News diketahui tidak dapat diakses sejak 30 Agustus 2025. Meski sempat kembali normal pada 4 September 2025, hanya berselang dua hari kemudian, tepatnya 6 September, website tersebut kembali diserang hingga lumpuh total. Hingga berita ini ditulis, Bhinneka News masih belum bisa diakses publik.

Pemimpin Redaksi Bhinneka News menilai peristiwa ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan bentuk nyata pembungkaman kebebasan pers. “Kami melihat ini bukan hal biasa. Situs kami diserang tepat setelah artikel opini yang kritis dipublikasikan. Tentu ada indikasi kuat bahwa ini bentuk pembungkaman terhadap suara pers,” tegasnya.

Landasan Hukum: UU Pers dan UU ITE

Tindakan peretasan atau pengrusakan situs media bukan hanya merugikan secara material, tetapi juga melanggar aturan hukum yang berlaku. Pemred Bhinneka News menegaskan bahwa insiden ini masuk dalam kategori pelanggaran Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Pers. Pasal tersebut menyebutkan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja pers dapat dipidana penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta. Bunyi lengkapnya adalah:

> “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Selain UU Pers, kasus ini juga berpotensi menjerat pelaku dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 32 Ayat (1) UU ITE secara tegas melarang siapa pun untuk secara sengaja merusak, mengubah, atau menghilangkan informasi elektronik milik orang lain maupun publik. Ancaman hukumannya pun tidak main-main.

Pasal 48 UU ITE menyatakan:

> “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Dengan dasar hukum tersebut, jelas bahwa peretasan situs media adalah tindakan kriminal serius, bukan sekadar “iseng” atau serangan siber biasa.

Sikap Bhinneka News: Konsultasi Hukum dan Laporan Polisi

Atas kerugian yang ditimbulkan, baik imaterial berupa rusaknya kredibilitas dan kepercayaan publik, maupun material akibat lumpuhnya distribusi berita, manajemen Bhinneka News berencana menempuh jalur hukum. “Kami tidak akan tinggal diam. Saat ini kami tengah berkonsultasi dengan ahli hukum dan dalam waktu dekat akan melaporkan kejadian ini ke kepolisian. Tindakan ini jelas melanggar Pasal 18 UU Pers dan Pasal 32 UU ITE,” ujar Pemred dengan nada tegas.

Menurutnya, kasus ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, karena menyangkut marwah kebebasan pers yang dijamin konstitusi. “Kalau media dibungkam dengan cara diretas, bagaimana publik bisa mendapatkan informasi yang benar? Ini bukan hanya soal Bhinneka News, tapi soal demokrasi kita,” tambahnya.

Sejumlah organisasi wartawan juga menyatakan keprihatinan atas insiden tersebut. Mereka menilai peretasan ini adalah bentuk intimidasi digital yang semakin sering dialami media di Indonesia. Serangan semacam ini, jika dibiarkan, bisa menciptakan efek jera bagi jurnalis dalam menyampaikan kritik.

Refleksi: Pers Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Kasus yang menimpa Bhinneka News seakan menjadi cermin kondisi pers nasional. Di satu sisi, pers diakui sebagai pilar demokrasi keempat yang dijamin kebebasannya. Namun di sisi lain, praktik pembungkaman masih terjadi, baik dalam bentuk ancaman fisik, kriminalisasi, maupun serangan digital seperti peretasan. Pakar komunikasi publik menilai, fenomena ini menegaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya terjamin. “Peretasan situs media adalah bentuk represi modern. Tidak terlihat secara kasat mata, tapi dampaknya nyata: publik kehilangan akses informasi, redaksi kehilangan ruang berekspresi, dan demokrasi kehilangan salah satu penjaganya,” ujarnya.

Jika tidak ada langkah tegas dari aparat hukum, kasus ini bisa menjadi preseden buruk. Pelaku akan merasa kebal hukum, sementara media lain akan semakin berhati-hati dalam mengkritisi pemerintah maupun pihak-pihak berkuasa. Padahal, tugas pers adalah menyuarakan kebenaran dan menjadi kontrol sosial.

Peristiwa peretasan Bhinneka News juga menjadi alarm bahwa keamanan siber media perlu diperkuat. Banyak redaksi media online di Indonesia yang masih minim perlindungan teknis, sehingga rentan diretas. Pemerintah dan lembaga terkait seharusnya turut hadir memberikan dukungan, bukan malah membiarkan media berjalan sendiri menghadapi ancaman digital.

Pada akhirnya, kejadian ini bukan hanya tentang satu media yang diserang. Ini adalah pesan keras bahwa pers Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Publik perlu ikut peduli, karena ketika suara pers dibungkam, maka yang hilang adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.

✍️ Tim Redaksi | detikreportase.com | Jakarta – DKI Jakarta

DETIKREPORTASE.COM : Membela Kebebasan Pers, Menjaga Demokrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250Example 728x250