Refleksi Seorang Advokat Muda untuk Menyulut Kesadaran Hukum di Tengah Keberagaman
✍️ Sri Mega Susanty Via Dolorosa Ninu, S.H., M.H | Advokat Muda NTT
KUPANG |DETIKREPORTASE.COM–
Hukum seharusnya hadir sebagai penuntun hidup, bukan alat kuasa. Ia harus menjadi penopang keadilan, bukan panggung bagi permainan kotor yang menjauhkan rakyat dari rasa aman dan nyaman. Namun realitas di Nusa Tenggara Timur kadang berkata lain. Di tengah keindahan budaya dan keberagaman masyarakatnya, hukum justru tampak rapuh—terkoyak oleh kepentingan, ditikam oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Refleksi ini datang dari seorang advokat muda NTT, Sri Mega Susanty Via Dolorosa Ninu, S.H., M.H, perempuan lulusan Pascasarjana Universitas Surabaya (Ubaya) yang vokal menyuarakan etika dan moralitas dalam hukum. Dalam perbincangan hangat bersama DetikReportase.com, Mega mengajak publik untuk kembali memahami esensi hukum—bukan sekadar aturan kaku, melainkan sesuatu yang memiliki roh dan jiwa.
“Hukum itu hidup. Ia punya roh dan jiwa. Tapi hari ini, hukum diabaikan, dicurangi, bahkan dijadikan alat untuk menindas,” tutur Mega, dengan wajah teduh namun penuh keprihatinan.
Roh Hukum: Nafas Moral di Tengah Masyarakat Multikultur
Menurut Mega, roh hukum adalah napas moral yang menyatu dengan nurani. Roh hukum hidup dalam nilai-nilai spiritualitas: kejujuran, keadilan, kasih, dan tanggung jawab. Di NTT yang majemuk secara budaya dan agama, roh hukum seharusnya menjadi kekuatan pengikat sosial.
“Roh hukum membantu membentuk kesadaran. Ia mendidik kita agar bertindak benar, menjunjung etika, dan hidup saling menghormati,” jelas Mega.
Roh hukum hadir sebagai penggerak kehidupan sosial yang harmonis. Ia menjadi jembatan antara masyarakat dan hukum formal. Ketika roh hukum lemah, masyarakat kehilangan arah. Maka tak heran, ketika banyak ketidakadilan hari ini terjadi, masyarakat justru lebih percaya pada kekuasaan informal ketimbang institusi hukum.
Jiwa Hukum: Pilar yang Menegakkan Keadilan Substantif
Selain roh, Mega juga menekankan pentingnya jiwa hukum. Bagi Mega, jiwa hukum adalah esensi terdalam dari keberadaan hukum itu sendiri: keadilan, kesetaraan, dan perlindungan bagi semua, terutama yang lemah dan tak bersuara.
“Jiwa hukum mengatur perilaku, membangun sistem yang tertib, dan memberi rasa aman. Di sinilah hukum menemukan bentuk idealnya—saat ia berpihak pada keadilan, bukan kekuasaan,” tegasnya.
Dalam masyarakat NTT yang beragam dan sering kali termarjinalkan oleh pusat, jiwa hukum semestinya menjadi pagar yang melindungi, bukan tembok yang membatasi. Namun faktanya, kelompok-kelompok masyarakat marginal sering menjadi korban ketidakadilan. Mereka tak paham hukum, tak punya akses, bahkan tak punya suara.
Mega menyesalkan bagaimana hukum sering dipermainkan oleh elit dan aparat yang justru semestinya menjadi penjaga. Ia mengangkat contoh konkret tentang bagaimana keputusan hukum bisa melenceng dari norma karena diatur oleh “kepentingan terselubung”.
“Hukum tidak boleh dijadikan alat dagang. Ia bukan milik penguasa. Ia adalah milik rakyat. Ketika hukum kehilangan jiwa, maka ia tak lebih dari senjata yang bisa membunuh siapa saja yang tak berdaya.”
Ketika Etika dan Nurani Ditekan oleh Kekuasaan
Sri Mega menyampaikan bahwa realitas hukum di lapangan tak jarang menjadi panggung kepalsuan: aparat yang lalai, mafia hukum yang bermain di balik layar, hingga kasus-kasus hukum yang ditutup rapat meski publik berteriak.
“Yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi penghianatan terhadap roh dan jiwa hukum itu sendiri. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Mega.
Ia mengajak semua praktisi hukum—advokat, jaksa, hakim, dan aparat kepolisian—untuk mengembalikan hukum pada jalur kebenaran. Ia menyebut perjuangan ini sebagai sebuah “ziarah panjang” untuk merebut kembali marwah hukum yang telah direbut oleh kepentingan sesaat.
Hukum untuk Semua, Bukan untuk Segelintir
Mega juga memberikan catatan tajam mengenai pentingnya keadilan restoratif dan pendekatan hukum yang humanis. Ia percaya bahwa hukum yang berjiwa harus hadir bagi semua kalangan—terutama mereka yang berada di pinggiran kehidupan.
“Kita tidak butuh hukum yang megah di atas kertas, tapi mati dalam praktik. Kita butuh hukum yang hadir di tengah-tengah rakyat, hidup, menyentuh, dan membela.”
Ia juga menyerukan agar pendidikan hukum lebih digalakkan di sekolah, kampung, dan komunitas-komunitas akar rumput. Masyarakat harus mengenal hukum, bukan hanya takut pada hukum.
Menutup Luka, Menyalakan Lentera
Di akhir perbincangan, Mega menyampaikan sebuah ajakan spiritual:
“Mari rawat hukum seperti kita merawat kehidupan. Jika kita menjunjung hukum dengan tulus, maka hukum akan menjaga kita. Tapi jika kita menistakannya, maka hukum akan menjadi kutukan yang menimpa kita semua.”
Dengan semangat muda dan integritas yang ia pegang teguh, Mega menjadi simbol harapan baru di tengah rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Ia membuktikan bahwa masih ada orang-orang yang percaya bahwa hukum bisa menjadi terang di tengah kegelapan—asal dijaga dengan roh dan jiwa yang bersih.


